Pernah menyaksikan bagaimana suasana sebuah turnamen sepak bola berskala internasional digelar di Stadion Gelora Bung Karno antara kesebelasan tim nasional Indonesia melawan negara lain? Atau pernahkah kita merasa gembira, lega, bangga dan terharu ketika kita menonton rekaman film sejarah yang menggambarkan patriotisme prajurit Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan yang kita nikmati sekarang?
Menjadi seorang patriotik, tentunya keinginan setiap orang. Apalagi jika kita melihat bagaimana gigihnya para pejuang dahulu memperjuangkan kemerdekaan yang bisa kita nikmati saat ini. Tapi apakah sikap patriotik itu hanya bisa dimiliki oleh para pendahulu kita yang rela berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan sebuah kemerdekaan hidup? Bagaimana dengan kita, yang hidup di jaman merdeka, dan penuh dengan para profesional yang selalu bergumul dengan pensil, kertas, dan komputer, adakah peluang kita menjadi seorang patriot?
Pada konteks kekinian, tentunya bangsa ini tidak lagi memerlukan para pejuang yang siap tempur di medan laga seperti para pendahulu kita. Saat ini bangsa ini butuh generasi yang melawan penjajahan laten; baik di ranah sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Setelah diraihnya kemerdekaan tahun 1945, yang menjadi musuh utama bangsa ini adalah kemiskinan struktural yang bisa memengaruhi iklim sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa Indonesia di setiap level masyarakat.
Kemiskinan, pengangguran, perilaku politik amoral, konflik horizontal dan ketidakmandirian ekonomi bangsalah, yang harus diusir para pejuang hari ini. Penjajahan yang mengerangkeng kebebasan bangsa, menuntut kehadiran pejuang dari pelbagai elemen bangsa yang tercerahkan. Dan, mereka memiliki kesadaran atas realitas, yang dihuni keberbagaian soal hidup, yang akan mengangkat harkat, martabat dan derajat bangsa ke arah kemandirian. Sebab, kesejahteraan adalah hak dan impian setiap warga masyarakat di daerah manapun. Maka, menggapai kesejahteraan merupakan jalan utama rehumanisasi bangsa yang telah diintimidasi dan dijajah kaum pribumi sendiri (baca: pejabat korup). Oleh karena itu, usaha membebaskan keterbudakan jiwa warga masyarakat adalah inti perjuangan dari pejuang hari ini, yang eksistensinya kian tergerus ke arah sikap hidup individualistik, nihil empatik, dan tidak berhasrat heroik-patriotik. Dalam bahasa lain, bangsa sangat memerlukan kehadiran generasi yang sadar atas peran dan fungsi kemanusiaannya, agar rakyat bisa bernafas lega menghirup udara kesejahteraan yang didambakan.
Perkuat Landasan Moral
Sebagai profesional, tingkatan moral kita memang sering diuji, terutama pada situasi-situasi yang sulit atau "beda-beda tipis" kalau istilah anak sekarang. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan seperti maukah kita menerima ‘komisi’?, maukah kita menerima ‘gratifikasi’ untuk projek yang sudah selesai?, atau maukah kita menerima seorang kawan sebagai seorang rekanan untuk project-project tertentu? Uji kekuatan moral kita yang sebenarnya bukanlah terletak pada jawaban 'iya' atau 'tidak'-nya, melainkan pada alasan mengiyakan atau menolaknya dan apa yang melatarbelakangi reaksi kita. Tidak mau menerima komisi karena 'takut ketahuan, takut dihukum, takut dikeluarkan dari perusahaan', atau 'karena ada peraturannya' ? Sementara, ada alasan-alasan lain yang bisa melandasi tindakan kita, yang 'lebih luhur', misalnya: demi etika jabatan, demi keuntungan perusahaan, keamanan, tanggung jawab profesi, dan banyak lagi nilai-nilai luhur lain yang sifatnya tidak hanya mengacu pada kepentingan diri sendiri.
Lahan bisnis yang sudah demikian kompleks memberi kemungkinan bagi "kriminal kerah putih" untuk terus beroperasi. Kita kenal para "hacker" yang justeru terdiri dari orang orang pintar, kita juga mengenal praktek "money laundry" dan kejahatan perbankan yang dilakukan oleh para profesional. Kejahatan kerah putih ini hanya bisa dikalahkan atau dibasmi, oleh para profesionalnya sendiri dan sikap moral profesional juga. Dengan memegang dan mempertahankan prinsip kebenaran dengan alasan yang kuatlah, seorang profesional bisa berdiri tegak, memegang prinsip, melarang, menolak dan menghalangi praktek praktek yang ‘salah’ , atau hampir salah dan merugikan perusahaan atau negara.
Berani Mati
Bayangkan bila kita tiba-tiba berhadapan dengan orang yang mengancam institusi tempat kita bekerja, dan kita ragu untuk menghadapinya. Apa sebenarnya alasan yang mendorong kita untuk berani menghadapi bahaya? Bukankah kita tidak mau kalah dari prajurit Pasukan Perdamaian Perang Libanon-Israel yang tanpa ragu meninggalkan keluarga membela kebenaran dan keadilan Beranikah kita memberantas korupsi, dan tidak menjadikannya hanya sebagai jargon belaka? Beranikah kita tetap menerapkan tindakan sesuai jalur profesi dan menolak perintah atasan untuk melanggarnya?
Inilah saat yang baik bagi para profesional untuk menguji nyali dan mengintrospeksi, apakah dia berani mati demi profesi, kebenaran, nurani atau negara, walaupun terkadang mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Berani Kotor
Tidak hanya prajurit TNI yang harus berani kotor dan terjun ke lapangan. Berani kotor versi pekerja profesional mungkin memang tidak secara fisik membangun jembatan, tetapi beranikah kita masuk ke dalam permasalahan secara detil? Bisakah kita menghadapi kesulitan dan kenyataan? Maukah kita menghadapi konflik? Begitu kita tidak berani kotor, maka lepaslah kita dari kemampuan untuk memecahkan masalah kongkrit. Padahal negara perlu profesional yang mau terjun ke lapangan, rajin inspeksi, memanfaatkan "rasa" dan inderanya lebih banyak supaya problem bisa dikenali lebih dalam. Profesional perlu berani bersusah-susah riset agar tidak selamanya memecahkan masalah secara trial and error.
Disiplin Sikap
Disiplin tidak pernah akan lekang dimakan jaman. Disiplin ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah memang perlu dihafal mati dan dilaksanakan sesuai prosedur yang sudah digariskan. Sikap disiplinlah yang menyebabkan orang tidak mau melakukan malpraktek, atau juga "potong kompas". Hanya dengan sikap tertib dan konsisten, kita bisa bergerak cepat dan kreatif untuk mencari dan menginovasi jalan dan cara baru. Tepat waktu, jawab telpon segera, tepati janji, ikuti peraturan, tetapkan standar, tuntaskan pekerjaan perlu menjadi gaya hidup profesional. Disiplin membuat kita selau "waspada" dan siap memberikan respons terhadap ancaman luar. Bukankah negara perlu diisi oleh profesional yang bermuka cerah dan siap ditantang, karena pandai mengelola waktu dan tugas?
Mari "Kita kembali pulang, menuju kita yang menang, walau mayat terkapar di medan perang" Sedikit mem"benchmark" semangat latihan para perajurit, kita juga perlu melakukan upaya penyiagaan mental, penyamaan derap dan penularan semangat. Beri kolega kita semangat. Matikan pesimisme. Ungkapkan "power words". Gantikan mengeluh soal negara, perusahaan dengan saling memberi kebersamaan, insiprasi dan solusi bagi lingkungan kerja kita. Bukankah bumi Indonesia ini perlu dipupuk dan disirami oleh semangat, derap, entusiasme dan daya juang profesional kita semua? Jika bukan sekarang, lalu kapan? Jjika bukan kita yang memulainya, lalu siapa lagi!!!
Sumber : kabarindonesia. com
Menjadi seorang patriotik, tentunya keinginan setiap orang. Apalagi jika kita melihat bagaimana gigihnya para pejuang dahulu memperjuangkan kemerdekaan yang bisa kita nikmati saat ini. Tapi apakah sikap patriotik itu hanya bisa dimiliki oleh para pendahulu kita yang rela berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan sebuah kemerdekaan hidup? Bagaimana dengan kita, yang hidup di jaman merdeka, dan penuh dengan para profesional yang selalu bergumul dengan pensil, kertas, dan komputer, adakah peluang kita menjadi seorang patriot?
Pada konteks kekinian, tentunya bangsa ini tidak lagi memerlukan para pejuang yang siap tempur di medan laga seperti para pendahulu kita. Saat ini bangsa ini butuh generasi yang melawan penjajahan laten; baik di ranah sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Setelah diraihnya kemerdekaan tahun 1945, yang menjadi musuh utama bangsa ini adalah kemiskinan struktural yang bisa memengaruhi iklim sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa Indonesia di setiap level masyarakat.
Kemiskinan, pengangguran, perilaku politik amoral, konflik horizontal dan ketidakmandirian ekonomi bangsalah, yang harus diusir para pejuang hari ini. Penjajahan yang mengerangkeng kebebasan bangsa, menuntut kehadiran pejuang dari pelbagai elemen bangsa yang tercerahkan. Dan, mereka memiliki kesadaran atas realitas, yang dihuni keberbagaian soal hidup, yang akan mengangkat harkat, martabat dan derajat bangsa ke arah kemandirian. Sebab, kesejahteraan adalah hak dan impian setiap warga masyarakat di daerah manapun. Maka, menggapai kesejahteraan merupakan jalan utama rehumanisasi bangsa yang telah diintimidasi dan dijajah kaum pribumi sendiri (baca: pejabat korup). Oleh karena itu, usaha membebaskan keterbudakan jiwa warga masyarakat adalah inti perjuangan dari pejuang hari ini, yang eksistensinya kian tergerus ke arah sikap hidup individualistik, nihil empatik, dan tidak berhasrat heroik-patriotik. Dalam bahasa lain, bangsa sangat memerlukan kehadiran generasi yang sadar atas peran dan fungsi kemanusiaannya, agar rakyat bisa bernafas lega menghirup udara kesejahteraan yang didambakan.
Perkuat Landasan Moral
Sebagai profesional, tingkatan moral kita memang sering diuji, terutama pada situasi-situasi yang sulit atau "beda-beda tipis" kalau istilah anak sekarang. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan seperti maukah kita menerima ‘komisi’?, maukah kita menerima ‘gratifikasi’ untuk projek yang sudah selesai?, atau maukah kita menerima seorang kawan sebagai seorang rekanan untuk project-project tertentu? Uji kekuatan moral kita yang sebenarnya bukanlah terletak pada jawaban 'iya' atau 'tidak'-nya, melainkan pada alasan mengiyakan atau menolaknya dan apa yang melatarbelakangi reaksi kita. Tidak mau menerima komisi karena 'takut ketahuan, takut dihukum, takut dikeluarkan dari perusahaan', atau 'karena ada peraturannya' ? Sementara, ada alasan-alasan lain yang bisa melandasi tindakan kita, yang 'lebih luhur', misalnya: demi etika jabatan, demi keuntungan perusahaan, keamanan, tanggung jawab profesi, dan banyak lagi nilai-nilai luhur lain yang sifatnya tidak hanya mengacu pada kepentingan diri sendiri.
Lahan bisnis yang sudah demikian kompleks memberi kemungkinan bagi "kriminal kerah putih" untuk terus beroperasi. Kita kenal para "hacker" yang justeru terdiri dari orang orang pintar, kita juga mengenal praktek "money laundry" dan kejahatan perbankan yang dilakukan oleh para profesional. Kejahatan kerah putih ini hanya bisa dikalahkan atau dibasmi, oleh para profesionalnya sendiri dan sikap moral profesional juga. Dengan memegang dan mempertahankan prinsip kebenaran dengan alasan yang kuatlah, seorang profesional bisa berdiri tegak, memegang prinsip, melarang, menolak dan menghalangi praktek praktek yang ‘salah’ , atau hampir salah dan merugikan perusahaan atau negara.
Berani Mati
Bayangkan bila kita tiba-tiba berhadapan dengan orang yang mengancam institusi tempat kita bekerja, dan kita ragu untuk menghadapinya. Apa sebenarnya alasan yang mendorong kita untuk berani menghadapi bahaya? Bukankah kita tidak mau kalah dari prajurit Pasukan Perdamaian Perang Libanon-Israel yang tanpa ragu meninggalkan keluarga membela kebenaran dan keadilan Beranikah kita memberantas korupsi, dan tidak menjadikannya hanya sebagai jargon belaka? Beranikah kita tetap menerapkan tindakan sesuai jalur profesi dan menolak perintah atasan untuk melanggarnya?
Inilah saat yang baik bagi para profesional untuk menguji nyali dan mengintrospeksi, apakah dia berani mati demi profesi, kebenaran, nurani atau negara, walaupun terkadang mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Berani Kotor
Tidak hanya prajurit TNI yang harus berani kotor dan terjun ke lapangan. Berani kotor versi pekerja profesional mungkin memang tidak secara fisik membangun jembatan, tetapi beranikah kita masuk ke dalam permasalahan secara detil? Bisakah kita menghadapi kesulitan dan kenyataan? Maukah kita menghadapi konflik? Begitu kita tidak berani kotor, maka lepaslah kita dari kemampuan untuk memecahkan masalah kongkrit. Padahal negara perlu profesional yang mau terjun ke lapangan, rajin inspeksi, memanfaatkan "rasa" dan inderanya lebih banyak supaya problem bisa dikenali lebih dalam. Profesional perlu berani bersusah-susah riset agar tidak selamanya memecahkan masalah secara trial and error.
Disiplin Sikap
Disiplin tidak pernah akan lekang dimakan jaman. Disiplin ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah memang perlu dihafal mati dan dilaksanakan sesuai prosedur yang sudah digariskan. Sikap disiplinlah yang menyebabkan orang tidak mau melakukan malpraktek, atau juga "potong kompas". Hanya dengan sikap tertib dan konsisten, kita bisa bergerak cepat dan kreatif untuk mencari dan menginovasi jalan dan cara baru. Tepat waktu, jawab telpon segera, tepati janji, ikuti peraturan, tetapkan standar, tuntaskan pekerjaan perlu menjadi gaya hidup profesional. Disiplin membuat kita selau "waspada" dan siap memberikan respons terhadap ancaman luar. Bukankah negara perlu diisi oleh profesional yang bermuka cerah dan siap ditantang, karena pandai mengelola waktu dan tugas?
Mari "Kita kembali pulang, menuju kita yang menang, walau mayat terkapar di medan perang" Sedikit mem"benchmark" semangat latihan para perajurit, kita juga perlu melakukan upaya penyiagaan mental, penyamaan derap dan penularan semangat. Beri kolega kita semangat. Matikan pesimisme. Ungkapkan "power words". Gantikan mengeluh soal negara, perusahaan dengan saling memberi kebersamaan, insiprasi dan solusi bagi lingkungan kerja kita. Bukankah bumi Indonesia ini perlu dipupuk dan disirami oleh semangat, derap, entusiasme dan daya juang profesional kita semua? Jika bukan sekarang, lalu kapan? Jjika bukan kita yang memulainya, lalu siapa lagi!!!
Sumber : kabarindonesia. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar