18 Februari 2009

ANAK SIMEULUE LUNCURKAN BUKU

SOSIOLOG Aceh, Dr. Ahmad Humam Hamid menamsilkan menulis sebagai pekerjaan di jalan sunyi. Selain minimnya apresiasi yang diberikan pemerintah, juga tidak banyak orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Apalagi, mayoritas warga Aceh cenderung memakai bahasa tutur ketimbang menulis.

Doktor lulusan Amerika Serikat yang acap disapa Humam ini mengungkapkan itu, ketika tampil pada acara peluncuran buku Ampuh Devayan, kemarin di Gedung ACC Sultan Selim Banda Aceh. Selain Humam, dalam mengupas buku ini juga hadir Prof. Hasbi Amiruddin, MA, dari IAIN Ar-Raniry. Makanya dia memberi apresiasi yang luar biasa untuk Ampuh Devayan, jurnalis senior yang meluncurkan buku, ‘Dari Panteue Menuju Insan Kamil'. "Ini pekerjaan orang-orang yang sudah mewakafkan dirinya untuk umat," kata mantan kandidat Gubernur Aceh itu.

Humam menambahkan, membaca tulisan Ampuh Devayan yang juga salah seorang redaktur sebuah harian lokal di Aceh, bagaikan orang makan rujak. Rujak yang dalam bahasa Aceh disebut lincah itu, memang sedap dan pedasnya cocok dengan lidah Aceh. "Ampuh sudah menyediakan kaca besar untuk kita." "Bahasanya filosofis, relegius dalam bingkai satire yang perlu dipertajam lagi," saran Humam dalam acara yang dimoderatori Wiratmadinata. "Bahasa Ampuh seperti cermin filosofis keacehan kita," tambah Wira, aktivis LSM yang juga mantan jurnalis, tadi pagi.Peluncuran buku setebal 261 halaman yang diterbitkan Lapena ini dilakukan Wakil Walikota Banda Aceh, Hj. Illiza Sa'addudin Djamal. Illiza, penerima Anugerah Peduli Kesehatan versi Waspada 2008, terharu ketika memberi sambutan. Suaranya pun terbata-bata.

"Kami harapkan isi buku ini menginspirasi pemerintah dalam berbuat lebih baik lagi dalam melayani masyarakat," ungkap wanita cantik tinggi semampai itu. Sedangkan D. Keumalawati dari Lapena mengatakan banyak hal yang memang menarik dalam Panteu, sebuah rubrik budaya yang terbit setiap ahad di sebuah harian lokal di Aceh. "Tulisan di Panteue mewakili wajah bopeng kita. Dengan tulisan-tulisan dalam buku ini kita seperti dicambuk untuk berusaha mengenali diri kita," ucapnya.Sementara Direktur Eksekutif Lapena Helmi Hass kepada Waspada usai acara menyebutkan, ‘Dari Panteue Menuju Insan Kamil' adalah buku ke 20 yang diterbitkan Lapena.

"Buku ini memperlihatkan konsistensi seorang Ampuh Devayan karena di sana terlihat jelas bagaimana upaya Ampuh mencerdaskan orang di Aceh yang mampu membaca tanda-tanda yang ditawarkannya. "Putra Simeulue Ampuh sendiri tidak berkomentar banyak. Dia memberi apresiasi positif kepada penerbit yang sudah mencetak kumpulan tulisannya yang berserak, termasuk karya yang sudah dibawa tsunami.

"Isi tulisan Panteue banyak mengandung pesan-pesan moral, sosial, kritik dan saran terhadap berbagai kebijakan dan tata nilai serta prilaku yang cenderung paradoksal," ucap Ampuh Devayan, pria kelahiran Pulau Simeulue.Ampuh Devayan putra pulau Simeulue, 104 mil di hamparan samudera ini dilahirkan 19 Juni 1962. Dia anak keenam dari Tgk M. Bujang dan Anijam. Menamatkan Sekolah Dasar di Desa Suak Lamatan (1969-1974). Melanjutkan SMPN 1 Sinabang (1975-1978), dan menamatkan SMA di kota yang sama (1981). Lalu, merantau ke Banda Aceh melanjutkan pendidikan di FKIP Universitas Syiah Kuala dan tamat 1987. Cita-cita yang terpahat sejak kecil adalah menjadi guru.

Namun zaman bergulir dan garis hidup menentukan lain. "Cita-cita itu terpangkas," ujarnya, kemarin.Lalu, lanjut dia, sekarang mencoba mengukuhkan jadi guru diri sendiri, bukan di kelas-kelas ekslusif, tapi hanya lewat kertas-kerta buram di koran dengan menulis. Suami Syamsiah yang sudah dikaruniai tiga anak ini sudah 20 tahun bekerja sebagai jurnalis.Kata Ampuh, menulis adalah bahasa kedua setelah berbicara. "Orang tak bisa menulis jika tangannya puntung/lumpuh; tak bisa bicara bila lidahnya bisu. Itulah yang membuat saya terus menulis juga bicara, meskipun sekarang kaki kanan saya kaku setelah setahun lebih harus duduk di kursi roda," urainya.

"Namun, saya masih memiliki tangan dan lidah, maka saya pun menulis dan bicara; apa saja yang bisa kutulis dan kubicarakan. " Katanya, ada ratusan judul tulisan yang belum kelar, termasuk hasil musahabah cinta ketika terkurung dalam sakit. Buku yang diberi judul "Dari Panteue Menuju Insan Kamil", ini adalah bunga rampai dari kolom Panteue, yang ditulisnya sejak 2001. "Sebagian besar tulisan itu hilang akibat disapu smong 26 Desember 2004 lalu. Dari 280 tulisan yang berhasil saya kumpul, 75 judul dicetak dalam buku Panteue. Panteue adalah demonstrasi tanpa massa dari kegelisahan saya ketika mencermati keadaan yang berlaku saat itu," ujarnya kepada Waspada.

Sumber ; WASPADA ONLINE, 11 February 2009

10 Februari 2009

KADER YANG GELISAH? (REFLEKSI 62 TAHUN HMI)

Oleh : Hasnanda Putra
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), pada tanggal 5 Februari 2009 ini genap berusia 62 tahun. Usia yang melampaui separuh abad itu sangat wajar kalau banyak kadernya mengambil peran strategus hampir di setiap lini dalam percaturan bangsa ini. Namun di usia yang “manula” HMI juga tak bisa menghindari kritik, bahkan hujat dari sebagian orang. Agaknya, di sinilah kematangan kalau tak boleh dikatakan kepiawaian kader HMI––yang mau mendengar sehingga terus dinamis di tengah perubahan.
Tanpa hendak membela, rasanya itu yang dimiliki organisasi kader lain. Sehingga hujan kritik itu menjadi hikmah bagi organisasi mahasiswa terbesar ini terus tumbuh dan berkiprah. Dalam milad ke-62 ini, agaknya ini pula yang perlu dimakfumkan oleh para kader HMI dalam yang terserak di mana-mana untuk tetap komit pada “ibu” yang melahirkan mereka sehingga sudah besar-besar. Sebagai organisasi kader, HMI harus dinamis dan inovatif. Artinya perbedaan bahkan benturan pandang yang terjadi, konon lagi di tengah riuhnya helat politik 2009 ini––maka semua itu adalah keniscayaan dan mesti dipahami sebagai dinamika perubahan yang harus dikawal.
Perlu keabsahan pemikiran yang plural, cerdas dan strategis dengan mengakomodir semua keragaman pikiran menjadi suatu cita-cita dan misi bersama. Pengalaman pahit masa lalu cukup menjadi iktibar. Bagaimana konflik internal, yang membuat HMI terpecah dua, yaitu HMI DIPO yang mendapat fasilitas negara, dan HMI MPO yang mempertahan idea sebagai organisasi independen. Namun selanjutnya kedua HMI ini nyaris berjalan sendiri-sendiri, hingga sampai pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI MPO sebagai satu-satunya ormas yang menduduki gedung tersebut di hari pertama bersama FKSMJ dan FORKOT yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota hingga Soeharto lengser pada 21 mei 1998. Dan angin reformasi mengantarkan HMI melalui Kongres Jambi 1999, kembali ke khittah mengusung asas Islam.
HMI Aceh?
Banyak pihak yang menilai HMI di Aceh tidak membumi alias pasif. Bahkan selama konflik Aceh, secara kelembagaan nyaris tidak melakukan sesuatu––kalau tak ingin dikatakan tidak peduli. Meskipun penilaian ini sesungguhnya, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Sebab tak bisa dinafikan, bahwa perjalanan kebangkitan pergerakan perlawanan damai mahasiswa dan pemuda Aceh sejak tahun 1998 dimulai dari “markas-markas” HMI. Tak dapat dipungkiri kemunculan berbagai organisasi massa semisal Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan seterusnya dalam perjalanan pasca Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) ikut membidani lahirnya Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) tidak terlepas dari “tangan-tangan” anak HMI Aceh.
Pada Kongres Ke-22 HMI justru apa yang kemudian diputuskan dalam KOMPAS-I telah terlebih dahulu didiskusikan dan seterusnya menjadi rekomendasi dari usulan Konsorsium Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) se-Daerah Istimewa Aceh. Berbeda dengan beberapa organisasi mahasiswa Islam lainnya, HMI di Aceh justru telah mampu membumikan dirinya sehingga familiar menjadi bagian integral dalam setiap perjalanan sejarah Aceh. HMI Aceh pulalah yang diyakini banyak pihak ikut andil menjadikan Islam Aceh lebih moderat sehingga isu-isu fundamentalis yang cenderung tidak memberi ruang diskusi dan pemikiran nyaris tidak memiliki tempat di Aceh. Islam Aceh-lah yang mampu menjadi rahmatan lilalamin dan menjadi teladan ber-Islam bagi dunia luar. Pasca MoU damai Helsinky, banyak hal yang seharusnya dapat menjadi bagian dari kiprahnya.
Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dinilai masih jauh dari semangat dan kesepakatan damai harus bisa menjadi bagian HMI untuk mengawal dan mengusulkan perubahan. Karena harus disadari saat ini kita telah sibuk dengan kucuran dana “peng griek” sehingga lupa bahwa kewenangan kita (Aceh) hampir tidak beda dengan daerah otonomi khusus. Ribuan syuhada yang terkubur maupun yang tak bernisan selama 30 tahun seakan hanya terobati dengan terpilihnya pasangan independen, dana besar dan partai lokal. Sentimen kita pun mulai dibatasi dengan embel-embel simbol partai. Namun, sebagai organisasi intelktual HMI harus mampu menjembatani persoalan penyelesaian perdamaian abadi Aceh antara keinginan frontal dengan kepentingan permainan pusat. Di sisi lain, HMI sudah harus mampu menjadi “pemantau” dari kebijakan
Pemerintah Aceh. Bila ada organisasi lain cenderung “tidak berakhlak” meminjam istilah Wagub Aceh untuk sekumpulan kecil elemen mahasiswa berbasis Darussalam, HMI dapat menjadi oposan yang cerdas dan tentu saja harus bersifat mulia. Karena perjuangan dan pergerakan kita harus bisa dibedakan antara supir angkot, pedagang kaki lima dan “abang RBT Ojek” dalam menyampaikan aspirasi dengan kita yang telah digembleng identitas ke-HMI-an setiap jenjang pengkaderan. Dalam rana politik Aceh, kader HMI harus mampu memberi kontribusi pendidikan politik rakyat yang sehat dan bermoral. Inilah salah satu kultur politik nilai yang diusung HMI seperti awal kelahirannya 5 Februari 1947 silam.
Perjalanan Aceh masih sangat panjang. Hanya lewat pendidikan, termasuk pendidikan politik yang sehat, akan demokrasi Aceh bisa diwujudkan. Rakyat memiliki kedaulatan memilih secara rasional sehingga melahirkan pemimpin yang terbaik. Banyak referensi yang harus digunakan sambil membangun kesadaran, wawasan, strategi dan dan keterampilan dalam mengelola agenda politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Karenanya di rentang usia HMI yang sudah sangat dewasa saat ini, dengan 11 Cabang di seluruh kota dan raturan ribu kadernya, merupakan potensi yang harus dibingkai bagi membangun dan membawa Aceh menuju masa depan lebih baik. Seperti teks tujuan HMI yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah swt”. Selamat Milad ke-62. Yakin Usaha Sampai.
*) Penulis adalah mantan Ketua Umum HMI Cabang Kota Jantho
Sumber : Harian Serambi Indonesia, 05/02/2009

03 Februari 2009

MENGEMBALIKAN PATRIOTISME PARA KERAH PUTIH

Pernah menyaksikan bagaimana suasana sebuah turnamen sepak bola berskala internasional digelar di Stadion Gelora Bung Karno antara kesebelasan tim nasional Indonesia melawan negara lain? Atau pernahkah kita merasa gembira, lega, bangga dan terharu ketika kita menonton rekaman film sejarah yang menggambarkan patriotisme prajurit Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan yang kita nikmati sekarang?

Menjadi seorang patriotik, tentunya keinginan setiap orang. Apalagi jika kita melihat bagaimana gigihnya para pejuang dahulu memperjuangkan kemerdekaan yang bisa kita nikmati saat ini. Tapi apakah sikap patriotik itu hanya bisa dimiliki oleh para pendahulu kita yang rela berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan sebuah kemerdekaan hidup? Bagaimana dengan kita, yang hidup di jaman merdeka, dan penuh dengan para profesional yang selalu bergumul dengan pensil, kertas, dan komputer, adakah peluang kita menjadi seorang patriot?

Pada konteks kekinian, tentunya bangsa ini tidak lagi memerlukan para pejuang yang siap tempur di medan laga seperti para pendahulu kita. Saat ini bangsa ini butuh generasi yang melawan penjajahan laten; baik di ranah sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Setelah diraihnya kemerdekaan tahun 1945, yang menjadi musuh utama bangsa ini adalah kemiskinan struktural yang bisa memengaruhi iklim sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa Indonesia di setiap level masyarakat.

Kemiskinan, pengangguran, perilaku politik amoral, konflik horizontal dan ketidakmandirian ekonomi bangsalah, yang harus diusir para pejuang hari ini. Penjajahan yang mengerangkeng kebebasan bangsa, menuntut kehadiran pejuang dari pelbagai elemen bangsa yang tercerahkan. Dan, mereka memiliki kesadaran atas realitas, yang dihuni keberbagaian soal hidup, yang akan mengangkat harkat, martabat dan derajat bangsa ke arah kemandirian. Sebab, kesejahteraan adalah hak dan impian setiap warga masyarakat di daerah manapun. Maka, menggapai kesejahteraan merupakan jalan utama rehumanisasi bangsa yang telah diintimidasi dan dijajah kaum pribumi sendiri (baca: pejabat korup). Oleh karena itu, usaha membebaskan keterbudakan jiwa warga masyarakat adalah inti perjuangan dari pejuang hari ini, yang eksistensinya kian tergerus ke arah sikap hidup individualistik, nihil empatik, dan tidak berhasrat heroik-patriotik. Dalam bahasa lain, bangsa sangat memerlukan kehadiran generasi yang sadar atas peran dan fungsi kemanusiaannya, agar rakyat bisa bernafas lega menghirup udara kesejahteraan yang didambakan.

Perkuat Landasan Moral

Sebagai profesional, tingkatan moral kita memang sering diuji, terutama pada situasi-situasi yang sulit atau "beda-beda tipis" kalau istilah anak sekarang. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan seperti maukah kita menerima ‘komisi’?, maukah kita menerima ‘gratifikasi’ untuk projek yang sudah selesai?, atau maukah kita menerima seorang kawan sebagai seorang rekanan untuk project-project tertentu? Uji kekuatan moral kita yang sebenarnya bukanlah terletak pada jawaban 'iya' atau 'tidak'-nya, melainkan pada alasan mengiyakan atau menolaknya dan apa yang melatarbelakangi reaksi kita. Tidak mau menerima komisi karena 'takut ketahuan, takut dihukum, takut dikeluarkan dari perusahaan', atau 'karena ada peraturannya' ? Sementara, ada alasan-alasan lain yang bisa melandasi tindakan kita, yang 'lebih luhur', misalnya: demi etika jabatan, demi keuntungan perusahaan, keamanan, tanggung jawab profesi, dan banyak lagi nilai-nilai luhur lain yang sifatnya tidak hanya mengacu pada kepentingan diri sendiri.

Lahan bisnis yang sudah demikian kompleks memberi kemungkinan bagi "kriminal kerah putih" untuk terus beroperasi. Kita kenal para "hacker" yang justeru terdiri dari orang orang pintar, kita juga mengenal praktek "money laundry" dan kejahatan perbankan yang dilakukan oleh para profesional. Kejahatan kerah putih ini hanya bisa dikalahkan atau dibasmi, oleh para profesionalnya sendiri dan sikap moral profesional juga. Dengan memegang dan mempertahankan prinsip kebenaran dengan alasan yang kuatlah, seorang profesional bisa berdiri tegak, memegang prinsip, melarang, menolak dan menghalangi praktek praktek yang ‘salah’ , atau hampir salah dan merugikan perusahaan atau negara.

Berani Mati

Bayangkan bila kita tiba-tiba berhadapan dengan orang yang mengancam institusi tempat kita bekerja, dan kita ragu untuk menghadapinya. Apa sebenarnya alasan yang mendorong kita untuk berani menghadapi bahaya? Bukankah kita tidak mau kalah dari prajurit Pasukan Perdamaian Perang Libanon-Israel yang tanpa ragu meninggalkan keluarga membela kebenaran dan keadilan Beranikah kita memberantas korupsi, dan tidak menjadikannya hanya sebagai jargon belaka? Beranikah kita tetap menerapkan tindakan sesuai jalur profesi dan menolak perintah atasan untuk melanggarnya?

Inilah saat yang baik bagi para profesional untuk menguji nyali dan mengintrospeksi, apakah dia berani mati demi profesi, kebenaran, nurani atau negara, walaupun terkadang mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Berani Kotor

Tidak hanya prajurit TNI yang harus berani kotor dan terjun ke lapangan. Berani kotor versi pekerja profesional mungkin memang tidak secara fisik membangun jembatan, tetapi beranikah kita masuk ke dalam permasalahan secara detil? Bisakah kita menghadapi kesulitan dan kenyataan? Maukah kita menghadapi konflik? Begitu kita tidak berani kotor, maka lepaslah kita dari kemampuan untuk memecahkan masalah kongkrit. Padahal negara perlu profesional yang mau terjun ke lapangan, rajin inspeksi, memanfaatkan "rasa" dan inderanya lebih banyak supaya problem bisa dikenali lebih dalam. Profesional perlu berani bersusah-susah riset agar tidak selamanya memecahkan masalah secara trial and error.

Disiplin Sikap

Disiplin tidak pernah akan lekang dimakan jaman. Disiplin ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah memang perlu dihafal mati dan dilaksanakan sesuai prosedur yang sudah digariskan. Sikap disiplinlah yang menyebabkan orang tidak mau melakukan malpraktek, atau juga "potong kompas". Hanya dengan sikap tertib dan konsisten, kita bisa bergerak cepat dan kreatif untuk mencari dan menginovasi jalan dan cara baru. Tepat waktu, jawab telpon segera, tepati janji, ikuti peraturan, tetapkan standar, tuntaskan pekerjaan perlu menjadi gaya hidup profesional. Disiplin membuat kita selau "waspada" dan siap memberikan respons terhadap ancaman luar. Bukankah negara perlu diisi oleh profesional yang bermuka cerah dan siap ditantang, karena pandai mengelola waktu dan tugas?

Mari "Kita kembali pulang, menuju kita yang menang, walau mayat terkapar di medan perang" Sedikit mem"benchmark" semangat latihan para perajurit, kita juga perlu melakukan upaya penyiagaan mental, penyamaan derap dan penularan semangat. Beri kolega kita semangat. Matikan pesimisme. Ungkapkan "power words". Gantikan mengeluh soal negara, perusahaan dengan saling memberi kebersamaan, insiprasi dan solusi bagi lingkungan kerja kita. Bukankah bumi Indonesia ini perlu dipupuk dan disirami oleh semangat, derap, entusiasme dan daya juang profesional kita semua? Jika bukan sekarang, lalu kapan? Jjika bukan kita yang memulainya, lalu siapa lagi!!!

Sumber : kabarindonesia. com