SOSIOLOG Aceh, Dr. Ahmad Humam Hamid menamsilkan menulis sebagai pekerjaan di jalan sunyi. Selain minimnya apresiasi yang diberikan pemerintah, juga tidak banyak orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Apalagi, mayoritas warga Aceh cenderung memakai bahasa tutur ketimbang menulis.
Doktor lulusan Amerika Serikat yang acap disapa Humam ini mengungkapkan itu, ketika tampil pada acara peluncuran buku Ampuh Devayan, kemarin di Gedung ACC Sultan Selim Banda Aceh. Selain Humam, dalam mengupas buku ini juga hadir Prof. Hasbi Amiruddin, MA, dari IAIN Ar-Raniry. Makanya dia memberi apresiasi yang luar biasa untuk Ampuh Devayan, jurnalis senior yang meluncurkan buku, ‘Dari Panteue Menuju Insan Kamil'. "Ini pekerjaan orang-orang yang sudah mewakafkan dirinya untuk umat," kata mantan kandidat Gubernur Aceh itu.
Humam menambahkan, membaca tulisan Ampuh Devayan yang juga salah seorang redaktur sebuah harian lokal di Aceh, bagaikan orang makan rujak. Rujak yang dalam bahasa Aceh disebut lincah itu, memang sedap dan pedasnya cocok dengan lidah Aceh. "Ampuh sudah menyediakan kaca besar untuk kita." "Bahasanya filosofis, relegius dalam bingkai satire yang perlu dipertajam lagi," saran Humam dalam acara yang dimoderatori Wiratmadinata. "Bahasa Ampuh seperti cermin filosofis keacehan kita," tambah Wira, aktivis LSM yang juga mantan jurnalis, tadi pagi.Peluncuran buku setebal 261 halaman yang diterbitkan Lapena ini dilakukan Wakil Walikota Banda Aceh, Hj. Illiza Sa'addudin Djamal. Illiza, penerima Anugerah Peduli Kesehatan versi Waspada 2008, terharu ketika memberi sambutan. Suaranya pun terbata-bata.
"Kami harapkan isi buku ini menginspirasi pemerintah dalam berbuat lebih baik lagi dalam melayani masyarakat," ungkap wanita cantik tinggi semampai itu. Sedangkan D. Keumalawati dari Lapena mengatakan banyak hal yang memang menarik dalam Panteu, sebuah rubrik budaya yang terbit setiap ahad di sebuah harian lokal di Aceh. "Tulisan di Panteue mewakili wajah bopeng kita. Dengan tulisan-tulisan dalam buku ini kita seperti dicambuk untuk berusaha mengenali diri kita," ucapnya.Sementara Direktur Eksekutif Lapena Helmi Hass kepada Waspada usai acara menyebutkan, ‘Dari Panteue Menuju Insan Kamil' adalah buku ke 20 yang diterbitkan Lapena.
"Buku ini memperlihatkan konsistensi seorang Ampuh Devayan karena di sana terlihat jelas bagaimana upaya Ampuh mencerdaskan orang di Aceh yang mampu membaca tanda-tanda yang ditawarkannya. "Putra Simeulue Ampuh sendiri tidak berkomentar banyak. Dia memberi apresiasi positif kepada penerbit yang sudah mencetak kumpulan tulisannya yang berserak, termasuk karya yang sudah dibawa tsunami.
"Isi tulisan Panteue banyak mengandung pesan-pesan moral, sosial, kritik dan saran terhadap berbagai kebijakan dan tata nilai serta prilaku yang cenderung paradoksal," ucap Ampuh Devayan, pria kelahiran Pulau Simeulue.Ampuh Devayan putra pulau Simeulue, 104 mil di hamparan samudera ini dilahirkan 19 Juni 1962. Dia anak keenam dari Tgk M. Bujang dan Anijam. Menamatkan Sekolah Dasar di Desa Suak Lamatan (1969-1974). Melanjutkan SMPN 1 Sinabang (1975-1978), dan menamatkan SMA di kota yang sama (1981). Lalu, merantau ke Banda Aceh melanjutkan pendidikan di FKIP Universitas Syiah Kuala dan tamat 1987. Cita-cita yang terpahat sejak kecil adalah menjadi guru.
Namun zaman bergulir dan garis hidup menentukan lain. "Cita-cita itu terpangkas," ujarnya, kemarin.Lalu, lanjut dia, sekarang mencoba mengukuhkan jadi guru diri sendiri, bukan di kelas-kelas ekslusif, tapi hanya lewat kertas-kerta buram di koran dengan menulis. Suami Syamsiah yang sudah dikaruniai tiga anak ini sudah 20 tahun bekerja sebagai jurnalis.Kata Ampuh, menulis adalah bahasa kedua setelah berbicara. "Orang tak bisa menulis jika tangannya puntung/lumpuh; tak bisa bicara bila lidahnya bisu. Itulah yang membuat saya terus menulis juga bicara, meskipun sekarang kaki kanan saya kaku setelah setahun lebih harus duduk di kursi roda," urainya.
"Namun, saya masih memiliki tangan dan lidah, maka saya pun menulis dan bicara; apa saja yang bisa kutulis dan kubicarakan. " Katanya, ada ratusan judul tulisan yang belum kelar, termasuk hasil musahabah cinta ketika terkurung dalam sakit. Buku yang diberi judul "Dari Panteue Menuju Insan Kamil", ini adalah bunga rampai dari kolom Panteue, yang ditulisnya sejak 2001. "Sebagian besar tulisan itu hilang akibat disapu smong 26 Desember 2004 lalu. Dari 280 tulisan yang berhasil saya kumpul, 75 judul dicetak dalam buku Panteue. Panteue adalah demonstrasi tanpa massa dari kegelisahan saya ketika mencermati keadaan yang berlaku saat itu," ujarnya kepada Waspada.
Sumber ; WASPADA ONLINE, 11 February 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar