10 Februari 2009

KADER YANG GELISAH? (REFLEKSI 62 TAHUN HMI)

Oleh : Hasnanda Putra
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), pada tanggal 5 Februari 2009 ini genap berusia 62 tahun. Usia yang melampaui separuh abad itu sangat wajar kalau banyak kadernya mengambil peran strategus hampir di setiap lini dalam percaturan bangsa ini. Namun di usia yang “manula” HMI juga tak bisa menghindari kritik, bahkan hujat dari sebagian orang. Agaknya, di sinilah kematangan kalau tak boleh dikatakan kepiawaian kader HMI––yang mau mendengar sehingga terus dinamis di tengah perubahan.
Tanpa hendak membela, rasanya itu yang dimiliki organisasi kader lain. Sehingga hujan kritik itu menjadi hikmah bagi organisasi mahasiswa terbesar ini terus tumbuh dan berkiprah. Dalam milad ke-62 ini, agaknya ini pula yang perlu dimakfumkan oleh para kader HMI dalam yang terserak di mana-mana untuk tetap komit pada “ibu” yang melahirkan mereka sehingga sudah besar-besar. Sebagai organisasi kader, HMI harus dinamis dan inovatif. Artinya perbedaan bahkan benturan pandang yang terjadi, konon lagi di tengah riuhnya helat politik 2009 ini––maka semua itu adalah keniscayaan dan mesti dipahami sebagai dinamika perubahan yang harus dikawal.
Perlu keabsahan pemikiran yang plural, cerdas dan strategis dengan mengakomodir semua keragaman pikiran menjadi suatu cita-cita dan misi bersama. Pengalaman pahit masa lalu cukup menjadi iktibar. Bagaimana konflik internal, yang membuat HMI terpecah dua, yaitu HMI DIPO yang mendapat fasilitas negara, dan HMI MPO yang mempertahan idea sebagai organisasi independen. Namun selanjutnya kedua HMI ini nyaris berjalan sendiri-sendiri, hingga sampai pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI MPO sebagai satu-satunya ormas yang menduduki gedung tersebut di hari pertama bersama FKSMJ dan FORKOT yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota hingga Soeharto lengser pada 21 mei 1998. Dan angin reformasi mengantarkan HMI melalui Kongres Jambi 1999, kembali ke khittah mengusung asas Islam.
HMI Aceh?
Banyak pihak yang menilai HMI di Aceh tidak membumi alias pasif. Bahkan selama konflik Aceh, secara kelembagaan nyaris tidak melakukan sesuatu––kalau tak ingin dikatakan tidak peduli. Meskipun penilaian ini sesungguhnya, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Sebab tak bisa dinafikan, bahwa perjalanan kebangkitan pergerakan perlawanan damai mahasiswa dan pemuda Aceh sejak tahun 1998 dimulai dari “markas-markas” HMI. Tak dapat dipungkiri kemunculan berbagai organisasi massa semisal Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan seterusnya dalam perjalanan pasca Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) ikut membidani lahirnya Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) tidak terlepas dari “tangan-tangan” anak HMI Aceh.
Pada Kongres Ke-22 HMI justru apa yang kemudian diputuskan dalam KOMPAS-I telah terlebih dahulu didiskusikan dan seterusnya menjadi rekomendasi dari usulan Konsorsium Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) se-Daerah Istimewa Aceh. Berbeda dengan beberapa organisasi mahasiswa Islam lainnya, HMI di Aceh justru telah mampu membumikan dirinya sehingga familiar menjadi bagian integral dalam setiap perjalanan sejarah Aceh. HMI Aceh pulalah yang diyakini banyak pihak ikut andil menjadikan Islam Aceh lebih moderat sehingga isu-isu fundamentalis yang cenderung tidak memberi ruang diskusi dan pemikiran nyaris tidak memiliki tempat di Aceh. Islam Aceh-lah yang mampu menjadi rahmatan lilalamin dan menjadi teladan ber-Islam bagi dunia luar. Pasca MoU damai Helsinky, banyak hal yang seharusnya dapat menjadi bagian dari kiprahnya.
Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dinilai masih jauh dari semangat dan kesepakatan damai harus bisa menjadi bagian HMI untuk mengawal dan mengusulkan perubahan. Karena harus disadari saat ini kita telah sibuk dengan kucuran dana “peng griek” sehingga lupa bahwa kewenangan kita (Aceh) hampir tidak beda dengan daerah otonomi khusus. Ribuan syuhada yang terkubur maupun yang tak bernisan selama 30 tahun seakan hanya terobati dengan terpilihnya pasangan independen, dana besar dan partai lokal. Sentimen kita pun mulai dibatasi dengan embel-embel simbol partai. Namun, sebagai organisasi intelktual HMI harus mampu menjembatani persoalan penyelesaian perdamaian abadi Aceh antara keinginan frontal dengan kepentingan permainan pusat. Di sisi lain, HMI sudah harus mampu menjadi “pemantau” dari kebijakan
Pemerintah Aceh. Bila ada organisasi lain cenderung “tidak berakhlak” meminjam istilah Wagub Aceh untuk sekumpulan kecil elemen mahasiswa berbasis Darussalam, HMI dapat menjadi oposan yang cerdas dan tentu saja harus bersifat mulia. Karena perjuangan dan pergerakan kita harus bisa dibedakan antara supir angkot, pedagang kaki lima dan “abang RBT Ojek” dalam menyampaikan aspirasi dengan kita yang telah digembleng identitas ke-HMI-an setiap jenjang pengkaderan. Dalam rana politik Aceh, kader HMI harus mampu memberi kontribusi pendidikan politik rakyat yang sehat dan bermoral. Inilah salah satu kultur politik nilai yang diusung HMI seperti awal kelahirannya 5 Februari 1947 silam.
Perjalanan Aceh masih sangat panjang. Hanya lewat pendidikan, termasuk pendidikan politik yang sehat, akan demokrasi Aceh bisa diwujudkan. Rakyat memiliki kedaulatan memilih secara rasional sehingga melahirkan pemimpin yang terbaik. Banyak referensi yang harus digunakan sambil membangun kesadaran, wawasan, strategi dan dan keterampilan dalam mengelola agenda politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Karenanya di rentang usia HMI yang sudah sangat dewasa saat ini, dengan 11 Cabang di seluruh kota dan raturan ribu kadernya, merupakan potensi yang harus dibingkai bagi membangun dan membawa Aceh menuju masa depan lebih baik. Seperti teks tujuan HMI yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah swt”. Selamat Milad ke-62. Yakin Usaha Sampai.
*) Penulis adalah mantan Ketua Umum HMI Cabang Kota Jantho
Sumber : Harian Serambi Indonesia, 05/02/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar