Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, MA
Aceh saat ini hampir dapat dikategorikan sebagai propinsi bencana, terutama yang berhubungan dengan air. Beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan banjir di Krueng Raya dan Pidie Jaya, setelah sebelumnya banyak tempat lain di Aceh.Ketika kita menyebut air, janganlah fokus kita hanya semata pada bencana tsunami saja. Lihatlah betapa berita media di Aceh selama tahun 2008 penuh cerita banjir yang tak kunjung habis. Hampir semua kabupaten kota di Aceh mengalami banjir, sehingga teori Lanina (musim banyak hujan) dan Elnino (musim kemarau panjang) sepeertinya tak berlaku lagi di Aceh.
Jika melakukan perjalanan ke Pantai Timur atau Pantai Barat Aceh akan menemukan kabupaten yang berbeda mengalami cuaca dan kondisi air. Bisa saja pada kabupaten kota awal yang dilalui cuaca sangat cerah dan tak ada apa-apa, dan tak lama kemudian akan segera ditemui di kawasan kabupaten kota lainnya yang tengah mengalami banjir. Frekwensi banjir di Aceh kini semakin sering dan semakain meluas. Lokasi propinsi berikut dengan ciri topografi, geomorphology, hydrometereologi, dan hidrology mempunyai potensi alami untuk banjir. Akan tetapi kegiatan pengrusakan alam oleh manusia dan fenomena pemanasan global telah mempunyai potensi itu menjadi jauh lebih besar. Kita tidak harus menjadi jenius untuk dapat mengerti bagaimana kegiatan manusia dan efek rumah kaca dapat menghadirkan banyak bencana alam yang berhubungan dengan air saat ini dan tahun-tahun mendatang.
Kegiatan pembukaan hutan yang menyalahi prinsip-prinsip lingkungan telah meminimalisir penyerapan air di permukaan bumi yang membuat banjir menjadi mudah untuk terjadi. Pemanasan global telah membuat atmosfir menjadi lebih panas, meransang presipitasi lebih banyak, dan berpeluang untuk banyak hujan. Sukar membayangkan masa depan kita kalau seandainya tingkat pengrusakan hutan saat ini terus berlanjut secara lokal. Sementara itu, di tingkat dunia belum ada tanda-tanda yang amat serius dan nyata untuk menghentikan pemanasan bumi. Ketakutan untuk tertinggal dan ketamakan dalam membangun telah merangsang negara-negara industri lama dan baru untuk terus menerus memanasi bumi dengan menggunakan energi fosil dalam jumlah yang amat luar biasa.
Kalau saja skenario itu terjadi tanpa ada kebijakan dan tindakan yang serius, peluang Aceh di masa depan untuk mengurangi angka kemiskinan akan menjadi sangat kecil, dan bahkan mungkin akan semakin bertambah. Cerita-cerita kawasan lain di dunia menunjukkan betapa akibat jangka panjang pengrusakan alam terhadap kemiskinan melalui bencana, utamanya yang berkaitan dengan air. Data tentang bencana alam yang berhubungan dengan air di berbagai kawasan di dunia menunjukkan angka yang semakin meningkat. Laporan Komisi Air PBB (UN 2001) menyebutkan antara tahun 1990-2001 telah terjadi sekitar 2,200 bencana alam yang berhubungan dengan air. Setengahnya berupa banjir, selebihnya kekeringan 11 persen, penyakit 28 persen, tanah longsor 9 persen, dan kelaparan 2 persen. Kawasan Asia menderita paling banyak kasus, 35 persen, Afrika 29 persen, Amerika 20 persen, Eropah 13 persen, dan Oceania sekitar 3 persen.
Komisi Air PBB (UN 2001) juga melaporkan jumlah kerugian akibat bencana yang berhubungan dengan air jauh meningkat tajam. Kalau pada tahun 1990 total kerugian berjumlah sekitar 30 miliar dollar US, bencana yang berhubungan dengan air pada tahun 1999 telah sampai pada angka 70 miliar dollar US. Sungguh sebuah kenaikan yang sangat tajam dalam waktu hanya kurang dari 10 tahun. Dalam keadaan krisis ekonomi dunia untuk waktu yang belum dapat dipastikan, sungguh sangat mengkhawatirkan banyak negara berkembang tentang nasib mereka saat ini jika saja bencana alam skala besar terjadi. Ini juga tidak berarti dalam jangka panjang tidak akan semakin banyak masalah. Pertaruhan lingkungan global kini menjadi amat besar, terutama untuk menjamin keberlanjutan kemanusiaan, bahkan untuk harkat martabat manusia, utamanya di kawasan-kawasan miskin dan alam yang rusak.
Bencana alam yang berhubungan dengan air dengan kemiskinan, bukanlah argumentasi yang dibuat untuk menakut-nakuti. Bukti empirik negara seperti Bangladesh, propinsi Bihar dan Assam di India, negara Haiti dan Dominika di Caribia, Propinsi Limpopo di Afrika Selatan, negara-negara Burkina Faso, Ghana, Togo, dan Mali di bagian Afrika lainnya adalah contoh-contoh yang mendebarkan bagaimana nasib ummat manusia dalam kemiskinan yang berkelanjutan sebagai akibat dari bencana alam berkelanjutan. Di Indonesia, kita juga mengenal kawasan-kawasan langganan banjir di Pulau Jawa dan Sumatera yang telah dan sedang berjuang keras untuk keluar dari kemiskinan yang semakin mencengkeram.
Memang, cara mengerti mekanisme kemiskinan akibat bencana alam hanya persoalan menggunakan akal sehat saja. Kawasan yang banjir pasti akan menghanyutkan harta benda penduduk, rumah, ternak, hasil bumi dan berbagai kekayaan lainnya. Banjir juga merusak banyak infrastruktur pertanian dan pedesaan yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang lumayan besar untuk ditangani. Persoalannya menjadi lebih rumit, ketika banjir menjadi langganan rutin untuk wilayah-wilayah tertentu. Ada kegagapan pemerintah untuk membuat investasi infrastruktur, ada investasi yang dilakukan, tetapi segera dilumat oleh bencana. Dan yang paling mengenaskan, terbangun sikap mental masyarakat yang tidak akan pernah mau habis-habisan dalam berusaha, karena mereka tahu resiko apa yang akan mereka hadapi ketika seluruh milik mereka dipertaruhkan dengan keganasan alam.
Hari-hari ini kita di Aceh, baik di kawasan pantai timur maupun kawasan pantai barat selatan , semakin banyak kita temui kawasan yang mengalami banjir. Jumlah kecamatan bencana setiap tahun semakin bertambah di kedua wilayah itu, dengan intensitas bencana yang semakin bertambah pula. Yang menyedihkan, dalam beberapa tahun terakhir ini jumlah kecamatan yang tertimpa bencana banjir juga telah mulai banyak terjadi di kawasan hulu. Di wilayah tengah Aceh ini, seperti di Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Tengah, kasus banjir yang dahulunya tidak pernah dirasakan oleh masyarakat, kini telah dialami hampir setiap tahun .
Perkiraan akal sehat kita hampir memastikan bahwa di samping kawasan-kawasan lain di Aceh, hampir dapat dipastikan konsentrasi kemiskinan telah, serdang, dan akan banyak terjadi di kawasan-kawasan yang sangat rawan dengan bencana. Ada lingkaran setan yang dapat membuat kelompok miskin di kawasan bencana akan terus hidup miskin berkelanjutan. Kajian tentang kemiskinan dan lingkungan sering menjelaskan bahwa mengurus kemiskinan pada permukaan seringkali sia-sia ketika masyarakat miskin itu ditimpa bencana. Program peningkatan pendapatan melalui berbagai kegiatan ekonomi rakyat yang tidak sensitif dengan ekologi kawasan, walaupun sering membuahkan hasil jangka pendek, namun tidak memberikan jaminan jangka panjang. Karenanya, secara umum, upaya pemberantasan kemiskinan di Aceh sudah saatnya dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih mengedepankan sensitivitas terhadap kelestarian sumber daya alam. Hanya dengan cara itulah setiap belanja publik dan investasi swasta yang dilakukan di suatu kawasan akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yakni relatif merata secara pendapatan, berkelanjutan, dan terjaga dengan baik seluruh modal alam yang dimiliki.
Suatu hal paling mendasar yang kita lupakan dalam pembangunan Aceh dewasa ini adalah, kita belum memiliki cetak biru tata ruang terakhir yang sejatinya menjadi “kitab suci” utama dalam pembangunan dan pembangunan kawasan di Aceh. Ada dua hal mendasar penting kita ingat dalam kaitan dengan tata ruang Aceh saat ini. Pertama, peristiwa tsunami pada tahun 2004 telah menyebabkan perobahan rona lingkungan yang sangat besar untuk kawasan Aceh besar dan pantai barat selatan. Kedua, pertambahan jumlah kabupaten kota di Aceh setelah masa reformasi juga memberikan sejumlah logika baru dalam pemanfaatan ruang yang berimplikasi pada berbagai aspek pembangunan lainnya.
Kedua hal itulah yang sebenarnya menjadi sumber utama perencanaan pembangunan yang telah dan sedang kita lakukan. Kalau saja kita berhitung secara sederhana tentang jumlah investasi publik yang telah kita lakukan dan sudah mencapai puluhan triliun rupiah dalam konteks kedua hal di atas, maka kita bisa membayangkan pula dosa apa yang telah dan sedang kita lakukan secara kolektif terhadap anak cucu kita di masa yang akan datang.
Pembangunan berwawasan hijau di Aceh adalah sebuah gagasan besar dan mulia, dan mungkin kalau bisa kita wujudkan akan menjadi harapan besar untuk generasi yang akan datang. Sebagai sesama negara berkembang dan memiliki hutan, kita perlu belajar banyak dari Costa Rica. Mereka mampu mengadopsi prinsip-prinsip pendekatan hijau dalam pembangunan mereka, terutama dengan memperkenalkan model paling innovatif di dunia dalam hal perlindungan hutan, sekaligus menaikkan taraf hidup masyarakat pedesaan mereka. Sudah saatnya pula daerah-daerah adminstratif di Aceh secara lebih serius di kelompokkan kedalam pendekatan hidrologis. Bukan tidak mungkin azas bio region dalam perencanaan pembangunan, dengan menganut azas saling menguntungkan. Sumber daya alam apapun, yang sebelumnya tidak dianggap barang ekonomi, sudah saatnya di beri nilai, utamanya air. Dengan cara-cara inilah interaksi pembangunan di Aceh akan saling menguntungkan dan berkelanjutan.
Dari berbagai pengamatan pendahuluan terhadap berbagai bencana alam banjir yang terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini, semakin terbukti degradasi modal alam,utamanya hutan, semakin terus meningkat. Kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat dari proses degradasi ini adalah kaum miskin, karena mereka memiliki sedikit modal manusia, dan hampir sepenuhnya bergantung kepada kemurahan alam yang ada di sekeliling mereka. Sekalipun saat ini dampak degradasi itu belum sangat nyata terhadap produksi modal fisik, namun pada suatu titik tertentu nantinya, ketika sumber daya alam kita, utamanya hutan, merosot di bawah ambang tertentu, seperti di negara Haiti, atau propinsi Bihar di India, maka dampaknya terhadap produktivitas modal fisik akan sangat terasa. Ketika itulah kecendrungan kemiskinan berkelanjutan di kawasan-kawasan rawan bencana akan terjadi. Akan tak terbayangkan waktu dan dana yang dibutuhkan dan untuk memerangi jenis kemiskinan yang seperti itu. Waktu masih sedikit lagi tersisa untuk kita, hal itu tidak boleh terjadi di Aceh.
Serambi Indonesia, 31/01/2009 - Penulis adalah Alumni HMI dan Sosiolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar