18 Januari 2009

PERSAINGAN REGIONAL SEBABKAN ARAB MEMBISU TENTANG INVASI ISRAEL KE GAZA

PERSAINGAN regional, kekhawatiran tentang semakin menyalanya api kemarahan kelompok Islam beraliran keras dan ketiadaaan pengaruh yang riil agaknya menjelaskan mengapa pemerintah negara-negara Arab samasekali tidak memberikan responnya keras terhadap ofensif Israel di Gaza.Di saat penduduk negara-negara Arab di kawasan itu memberikan reaksi penuh kemarahan atas serangan Israel terhadap gerakan Islam Hamas yang menguasai Jalur Gaza, reaksi pemerintah mereka demikian lunaknya karena keprihatinan terhadap semakin meluasnya kelompok-kelompok radikal di dalam negeri (mereka) dan karena mereka punya sedikit sekali perangkat diplomatik untuk menekan Israel.

Serangan Israel, yang Sabtu lalu berubah menjadi invasi melalui darat, sebegitu jauh telah menelan korban lebih 800 jiwa sejak awal serangan itu dimulai.Namun reaksi para kepala pemerintahan regional telah menimbulkan kekecewaan yang ditumpahkan di jalan-jalan raya di Arab, yang merupakan jurang pemisah antara sentimen dan tindakan yang bisa menjadi berbahaya secara politik jika pasukan Israel dan tank-tanknya masih berada di Gaza untuk waktu lama.“Respons Arab sangat lemah. Mereka nampak seperti lumpuh. Mereka nampaknya benar-benar tidak ingin bereaksi lebih jauh,” kata Khalid al Dakhil, analis politik Saudi.Respon pemerintah Arab “tidak seperti yang diharapkan rakyat Arab,” kata pakar politik Saudi, Tawfiq al-Sais.Namun, dia menambahkan, boleh jadi hal itu mencerminkan realitas dari situasi, bahwasanya tidak banyak yang bisa mereka lakukan.

Pemerintah Arab di kawasan itu telah sangat marah terhadap intensitas kampanye Israel, dengan emir Qatar menuduhnya melakukan “kejahatan perang”.Namun negara emirat kecil itu, yang sejak tahun 1996 menempatkan sebuah kantor perdagangan Israel -- satu-satunya di kawasan Teluk -- samasekali tidak menunjukkan keinginan untuk memutuskan hubungan.Tanggung-jawab DK PBBTujuan utama negara-negara Arab ialah mengusahakan resolusi gecatan senjata secepatnya di Dewan Keamanan (DK) PBB.“Ini menjadi tanggung-jawab dewan untuk mengakhiri konflik manapun sesegera mungkin, dan tidak terkecuali konflik yang sedang terjadi di Gaza sekarang,” kata Menlu Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal kepada DK PBB Selasa lalu.Qatar menghimbau diselenggarakannya KTT darurat para pemimpin Arab, tapi Saudi, salah satu diantaranya, “meremehkan” KTT seperti itu yang hanya akan “melahirkan komunike-komunike.”“Apa lagi yang bisa kita lakukan? Tidakkah ada yang siap melawan Israel?” tanya Mohammed al-Zulfa, pakar sejarah dan anggota Dewan Shura Saudi, dewan penasehat yang para anggotanya diangkat oleh Raja Abdullah.

Sejumlah pihak memberi kesan bahwa Mesir dan Jordania, hanya dua negara tetangga ini di kalangan dunia Arab yang punya hubungan dengan Israel, mestinya bisa saja menarik Dubes mereka dari Israel sebagaimana yang dilakukan oleh Mauritania Senin.Namun Zulfa dan anggota dewan lainnya menyangsikan hal itu akan mengganggu atau berpengaruh bagi Israel.Pada inti permasalahannya terdapat rasa tidak senang dengan Hamas. Pemerintah negara-negara Arab, kecuali Suriah, mendukung faksi Fatah yang moderat pimpinan Presiden Palestina Mahmud Abbas, yang diusir dari Gaza oleh Hamas bulan Juni 2007.

Setelah dimulainya serangan Israel 27 Desember lalu, banyak pemerintah negara Arab mengutuk Israel, namun juga mengecam “tidak adanya persatuan” Palestina.Mesir dan Arab Saudi juga mengecam Suriah dan Iran karena mendorong Hamas untuk mengakhiri isu geopolitik mereka sendiri, dan kini mereka khawatir, kalau mereka membantu Hamas akan bisa memperkuat Damaskus dan Teheran secara regional.“Gaza sudah dua kali diremukkan: pertama oleh tindakan barbar Israel, dan yang kedua oleh negara-negara yang mengeksploitir kepentingan Palestina dan Hamas guna memberhasilkan target-target tertentu mereka di kawasan itu,” tulis Tareq al-Homaid, Pemred suratkabar Al-Sharq al-Aswat milik Saudi yang punya hubungan dekat dengan pemerintah.KekhawatiranLebih-lebih lagi, beberapa analis mengatakan, mereka khawatir kalau membantu Hamas akan bisa memberi kekuasaan kepada kelompok -kelompok radikal yang berhubungan dengan Hamas di dalam negeri mereka sendiri.“Pemerintah di kawasan itu tidak ingin turut campur, begitu juga dalam membantu sentimen-sentimen revolusioner di dalam masyarakat mereka,” kata al-Sais.

Kekhawatrian itu nampak di dalam kebulatan tekad di negara-negara Teluk untuk membatasi aksi-aksi protes pro-Palestina sebagaimana yang sudah pecah dimana-mana.Keinginan publik untuk menunjukkan dukungan mereka cukup jelas. Sejumlah penahanan sudah dilakukan pekan lalu ketika otorita setempat memadamkan dua aksi protes di timur Arab Saudi, dan di Jeddah, mahasiswa memakai selendang gaya-Palestina sebagai tanda simpati mereka.Riyadh berusaha menyalurkan kemarahan publik. Hari Jumat (2/1), para imam di mesjid-mesjid yang biasanya dilarang keras menyerempet-nyerempet ke politik, telah diizinkan menyampaikan khotbah menyangkut krisis tersebut.

Dan keesokan harinya, sebuah acara televisi khusus non-stop yang disponsori pemerintah selama 11 jam telah berhasil mengumpulkan 32 juta dolar untuk rakyat Palestina.Yang mengkhawatirkan, kata sejumlah analis, semakin lama berkelanjutannya ofensif Israel, maka akan semakin melebar jurang pemisah antara sentimen publik, yang dikobarkan oleh liputan tentang korban rakyat Palestina yang bergelimang darah melalui televisi, dan tentang kemampuan pemerintah setempat untuk memberikan responnya.“Ini semakin memberikan tekanan terhadap negara-negara Arab yang menempatkan mereka di posisi yang sangat buruk sekali,” kata Dakhil.(AFP/sya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar